Mengapa Timur Tengah Tak Masuk Daftar?
Ketika Nama Indonesia Tercatat di Peta Dunia
Pada Oktober 2025, publik Indonesia dibuat bangga sekaligus tertegun. Sebuah grafik yang dirilis oleh Seasia Stats memperlihatkan daftar organisasi keagamaan terkaya di dunia, dan di antara nama-nama besar seperti Gereja Katolik di Jerman, Tirumala Tirupati Devasthanams di India, dan Gereja Mormon dari Amerika Serikat, berdiri tegak nama Muhammadiyah dari Indonesia.
Dengan total kekayaan yang ditaksir mencapai Rp454,24 triliun, Muhammadiyah berada di peringkat keempat dunia, bahkan menjadi organisasi Islam terkaya di dunia.
Prestasi ini menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang ekonominya jauh lebih mapan.
Namun, muncul pertanyaan besar:
Mengapa tidak ada satu pun organisasi keagamaan dari Timur Tengah, kawasan yang dikenal sebagai jantung peradaban Islam, yang tercatat dalam daftar bergengsi ini?
Kekayaan yang Terlihat dan yang Tersembunyi
Menurut Seasia Stats, peringkat ini disusun berdasarkan aset terverifikasi, pendapatan tahunan, dan laporan keuangan yang dapat diakses publik.
Kriteria ini menjelaskan mengapa Muhammadiyah bisa masuk daftar, sementara lembaga-lembaga Islam di Timur Tengah tidak.
Muhammadiyah mengelola ribuan sekolah, universitas, rumah sakit, panti asuhan, hingga amal usaha dengan manajemen profesional dan sistem keuangan terbuka. Semua tercatat, diaudit, dan dipertanggungjawabkan secara publik.
Sebaliknya, di Timur Tengah, lembaga-lembaga seperti Dar al-Ifta, Kementerian Wakaf, atau Majelis Ulama berada di bawah kendali negara atau kerajaan.
Artinya, aset-aset besar seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi, atau Universitas Al-Azhar bukan milik organisasi sipil yang independen, melainkan institusi negara.
Mereka memiliki nilai spiritual yang tak ternilai, tetapi tidak bisa dinilai secara korporat karena tidak beroperasi sebagai entitas keuangan mandiri.
NU: Kekuatan yang Belum Terkonsolidasi
Di Indonesia sendiri, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam terbesar di dunia secara jumlah jamaah, pengaruh sosial, dan jaringan pesantren.
Namun NU belum tercatat dalam daftar global karena faktor struktural:
- Organisasi ini terdesentralisasi, dengan ribuan pesantren dan lembaga yang berdiri mandiri di bawah kyai dan yayasan lokal.
- Laporan keuangannya tidak terkonsolidasi secara nasional, sehingga valuasi aset sulit dihitung secara global.
- Fokus NU lebih kepada pemberdayaan komunitas dan dakwah tradisional, bukan pada pengembangan amal usaha terpusat seperti Muhammadiyah.
Padahal jika seluruh aset pesantren, madrasah, rumah sakit, dan lembaga pendidikan NU digabungkan, potensi nilainya bisa mencapai ratusan triliun rupiah.
Namun, karena tidak tercatat secara terpusat, kekayaan itu bersifat "tersebar"---kuat dalam pengaruh sosial, tapi tak tercermin dalam angka statistik global.
Malaysia dan Model Negara-Sentris
Bagaimana dengan Malaysia, Brunei, atau Singapura?
Negara-negara ini memiliki lembaga keagamaan Islam seperti JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia), Majlis Agama Islam Negeri (MAIN), dan MUIS (Majlis Ugama Islam Singapura).
Namun semuanya adalah institusi negara, bukan organisasi masyarakat sipil seperti Muhammadiyah atau NU.
Pendanaan mereka berasal dari anggaran pemerintah, sementara asetnya dikelola di bawah hukum negara bagian atau federal.
Akibatnya, mereka tidak memiliki kemandirian finansial atau laporan kekayaan yang bisa disetarakan dengan organisasi independen seperti Muhammadiyah.
Sementara itu, ormas-ormas Islam di Malaysia seperti ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), IKRAM, dan PAS aktif dalam dakwah dan pendidikan, namun belum memiliki jaringan amal usaha berskala nasional yang dapat menyaingi model Muhammadiyah dalam pengelolaan aset produktif.
Struktur, Transparansi, dan Pelajaran dari Muhammadiyah
Jika ditinjau lebih dalam, keberhasilan Muhammadiyah tidak semata karena besarnya aset, tetapi karena struktur manajemen dan sistem transparansi yang mapan.
Organisasi ini mempraktikkan tata kelola modern, audit internal, pelaporan terbuka, hingga kaderisasi profesional di setiap lini amal usaha.
Inilah yang membuat Muhammadiyah menjadi contoh unik di dunia Islam:
sebuah organisasi keagamaan yang mampu menggabungkan iman, ilmu, dan tata kelola modern.
Refleksi: Bisakah Pemerintah Meniru Muhammadiyah?
Indonesia adalah negeri yang kaya raya, dengan sumber daya alam melimpah dan potensi ekonomi besar.
Namun, banyak kekayaan itu hilang karena korupsi, tata kelola yang buruk, dan mentalitas eksploitatif.
Seandainya pemerintah mengelola sumber daya dengan transparansi, akuntabilitas, dan kemandirian seperti yang dilakukan Muhammadiyah, maka seharusnya tidak ada lagi rakyat yang hidup dalam kemiskinan di negeri gemah ripah loh jinawi ini.
Muhammadiyah membuktikan bahwa kekuatan ekonomi berbasis nilai dan etika dapat menjadi pilar pembangunan bangsa.
Pemerintah dapat meniru model tata kelola ini bukan hanya dalam skala organisasi, tetapi dalam merancang kebijakan publik yang berorientasi pada kesejahteraan dan keberlanjutan.
Epilog: Kekayaan yang Melampaui Angka
Kekayaan sejati tidak selalu tercermin dari angka di neraca atau grafik statistik. Ia hadir dalam bentuk keberlanjutan nilai, integritas, dan pengabdian kepada sesama.
Di tengah dunia yang semakin materialistis, Muhammadiyah tampil sebagai bukti bahwa spiritualitas bisa berjalan beriringan dengan profesionalisme dan tata kelola modern.
Organisasi ini telah menorehkan jejak luar biasa: membangun universitas, mengelola rumah sakit, memberdayakan masyarakat, dan menumbuhkan generasi berilmu yang berakhlak.
Di balik semua itu, ada filosofi yang sederhana tapi mendalam, bahwa kekayaan tidak untuk ditimbun, melainkan untuk ditransformasikan menjadi manfaat.
Namun, di balik daftar 10 besar organisasi keagamaan terkaya dunia itu, masih ada ribuan lembaga lain yang bekerja dalam diam.
Mereka mungkin tidak tercatat di laporan Forbes atau Seasia Stats, tapi hadir nyata di kehidupan: mengajar anak-anak di pelosok, menolong fakir miskin, menjaga tradisi, dan menyalakan harapan.
Dan mungkin, kelak, NU, ABIM, Jamaat-e-Islami, dan lembaga wakaf di Timur Tengah akan menemukan formulasi baru yang menyatukan spiritualitas dan manajemen modern.
Bukan untuk mengejar peringkat, tetapi untuk menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan dan kebermanfaatan jauh lebih tinggi daripada nominal kekayaan.
Karena pada akhirnya, kekayaan yang paling berharga bukanlah apa yang dimiliki, tetapi apa yang diwariskan, kepada umat, bangsa, dan peradaban manusia.
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
.