Bolehkah AI Mengambil Keputusan Hidup dan Mati? Tinjauan Etika dan Syariat
Teknologi kecerdasan buatan (AI) telah melangkah lebih jauh dari sekadar otomatisasi. Di bidang medis, militer, bahkan transportasi, AI kini dihadapkan pada situasi ekstrem: memilih siapa yang harus diselamatkan, dan siapa yang harus dikorbankan.
Contoh paling mencolok adalah mobil otonom. Dalam skenario tabrakan tak terhindarkan, AI harus memutuskan: menghindari anak kecil dan menabrak orang tua, atau sebaliknya?
Dilema Etika dalam Teknologi
Keputusan seperti itu dikenal sebagai "dilema troli" versi digital. Di balik kecanggihan teknologi, muncul pertanyaan mendasar: bolehkah manusia menyerahkan keputusan moral kepada mesin?
Sebagian pakar menyatakan bahwa selama AI dilatih dengan data etis dan akurat, keputusannya bisa lebih objektif daripada manusia. Namun, siapa yang menentukan nilai etis tersebut? Budaya dan agama memiliki pandangan yang sangat berbeda soal prioritas nyawa.
Pandangan Syariat Islam
Dalam syariat Islam, nyawa manusia adalah amanah suci. Tidak seorang pun boleh menentukan hidup dan mati kecuali atas izin Allah dan dalam batas hukum syar’i, seperti dalam konteks qisas atau perang yang sah.
Maka, menyerahkan keputusan hidup dan mati kepada mesin — yang tidak berakal, tidak beragama, dan tidak memiliki tanggung jawab moral — adalah langkah yang sangat riskan.
AI tidak punya niat, tidak bisa menyesal, dan tidak akan bertanggung jawab di akhirat.
Kebutuhan Regulasi dan Pendampingan Manusia
Solusi yang ditawarkan banyak pihak adalah pendekatan human-in-the-loop — di mana keputusan akhir tetap berada di tangan manusia, dan AI hanya berperan sebagai alat bantu. Di sisi lain, diperlukan regulasi ketat dan panduan etik lintas agama dan budaya untuk memastikan nilai-nilai kemanusiaan tidak dikalahkan oleh efisiensi teknologi.
Kesimpulan
Kecanggihan AI bukan alasan untuk melepaskan tanggung jawab moral manusia. Ketika mesin diberi kewenangan untuk menentukan nasib hidup orang lain, kita perlu bertanya kembali: Apakah ini kemajuan, atau justru kemunduran dalam nilai kemanusiaan?
Dalam dunia yang semakin pintar, semoga nurani kita tidak menjadi tumpul.
.