20px

Anak Minta Sepatu Futsal? Ajari Mereka Product Knowledge Sejak Dini

Jodyaryono5072
160 artikel
Haekal dan Hanan Sedang Mempersiapkan Product Knowledge Dok Pribadi Jody Aryono
Haekal dan Hanan Sedang Mempersiapkan Product Knowledge Dok Pribadi Jody Aryono
Hanan sedang Mempersiapkan Presentasi , Dok Pribadi Jody Aryono
Hanan sedang Mempersiapkan Presentasi , Dok Pribadi Jody Aryono
Screenshoot Hsil Presentasi Haekal, Dok Pribadi Jody Aryono
Screenshoot Hsil Presentasi Haekal, Dok Pribadi Jody Aryono
Hasil Presentasi Hanan , Dok Pribadi Jody Aryono
Hasil Presentasi Hanan , Dok Pribadi Jody Aryono

Anak Minta Sepatu Futsal? Ajari Mereka Product Knowledge Sejak Dini

Bukan Sekadar Minta Dibeliin

Haekal yang berusia 16 tahun dan adiknya, Hanan, 11 tahun, kompak ingin sepatu futsal baru. Bukan karena sobek atau rusak... tapi karena "yang itu keren kayak punya temen di sekolah." Sebuah momen sederhana yang justru bisa jadi pelajaran penting: tentang riset produk, nilai guna, dan manajemen keinginan. Tulisan ini terispirasi dengan obrolan cerdas dengan Pak Farisya di Hotel Margo depok saat RCC minggu lalu 

Hanan sedang Mempersiapkan Presentasi , Dok Pribadi Jody Aryono
Hanan sedang Mempersiapkan Presentasi , Dok Pribadi Jody Aryono

Kenapa Harus Belajar Product Knowledge?

Sebagai orang tua, mudah sekali tergoda untuk langsung membelikan. Tapi, apakah anak tahu perbedaan upper material sepatu futsal? Atau mengerti kenapa ada outsole yang lebih licin di indoor dibanding outdoor? Dengan mengenalkan mereka pada product knowledge, kita sedang menanamkan kebiasaan berpikir sebelum membeli... bukan sekadar mengikuti tren.

Screenshoot Hsil Presentasi Haekal, Dok Pribadi Jody Aryono
Screenshoot Hsil Presentasi Haekal, Dok Pribadi Jody Aryono

Faktor Penting yang Harus Mereka Tahu

Haekal dan Hanan diminta membuat presentasi kecil di rumah:

Jenis lapangan tempat bermain (indoor, semen, atau rumput sintetis?)

  • Frekuensi bermain (mingguan atau harian?)

  • Bentuk kaki mereka (lebar, sempit, flat foot?)

  • Brand vs Fitur (Nike memang keren, tapi Specs sering punya grip yang lebih cocok untuk kaki Indonesia)

    Dengan pendekatan ini, mereka belajar bahwa harga bukan satu-satunya ukuran bagus-tidaknya sebuah produk.

    Bukan Sekadar Pengetahuan, Tapi Keterampilan Hidup

    Meneliti spesifikasi sepatu, menonton review YouTube, membandingkan marketplace... semua itu melatih digital literacy dan decision making di usia dini. Haekal bahkan berani mengajukan satu model yang harganya paling tinggi: Rp1,4 juta. Tapi ia tidak asal pilih. “Yah, kalau ini kuat sampai 2 tahun, berarti per bulannya cuma Rp58 ribu ya. Lebih murah dari jajan cilok mingguan,” katanya sambil tersenyum penuh strategi. Sebuah logika sederhana yang membuat saya berpikir... ternyata mereka bukan cuma ingin barang mahal, tapi mulai belajar menghitung nilai jangka panjang. 

    Hasil Presentasi Hanan , Dok Pribadi Jody Aryono
    Hasil Presentasi Hanan , Dok Pribadi Jody Aryono

    Mendampingi, Bukan Menghakimi

    Orang tua kadang terburu menilai keinginan anak sebagai boros. Padahal, justru di sanalah kesempatan mengajarkan cost vs benefit. Kami tidak langsung menolak, tapi meminta mereka menyusun argumen: kenapa sepatu itu layak dibeli? Dari presentasi mereka, kami belajar bahwa anak-anak mampu membuat keputusan rasional... asal diberi ruang.

    Fakta Ilmiah yang Perlu Diketahui

    Menurut studi dari Pediatric Exercise Science Journal, kenyamanan dan kesesuaian sepatu dengan bentuk kaki sangat memengaruhi performa dan mencegah cedera pada anak. Bahkan Harvard Health menyarankan agar anak-anak diajarkan memilih alas kaki berdasarkan aktivitas spesifik --- bukan estetika semata.

    Praktik Nyata di Rumah

    Haekal akhirnya mempresentasikan 3 pilihan sepatu dengan spesifikasi, harga, dan review masing-masing. Ia merekomendasikan satu sepatu lokal dengan outsole tahan aus, mesh ringan, dan upper sintetis yang mudah dibersihkan. Hanan menambahkan opsi sepatu yang sama... tapi warna biru favoritnya. "Ini hemat dan tetap keren," katanya sambil tersenyum.

    Pola Baru yang Kita Bisa Bangun

    Mulai sekarang, setiap keinginan untuk membeli sesuatu harus diawali dengan riset mini. Bukan mempersulit anak, tapi memerdekakan mereka dari gaya hidup impulsif. Jadikan setiap proses beli... sebagai ajang belajar hidup.

    Observasi Nyata: Keputusan Terbaik Sering Butuh Disentuh

    Sebagai penutup proses belajar, saya meminta Haekal dan Hanan mengunjungi toko sepatu lokal di dekat rumah. Bukan untuk langsung membeli, tapi untuk merasakan langsung: bobot sepatu, kenyamanan insole, fleksibilitas outsole... dan tentu saja, ekspresi wajah saat mencoba.

    Di toko, Haekal mencatat bahwa sepatu yang awalnya ia pilih secara online ternyata terasa kaku di bagian jari. Sementara satu model lokal yang ia abaikan justru lebih ringan dan fleksibel saat dicoba. Ia menatap saya dan berkata, 

    “Oh... ternyata data dan kenyamanan bisa beda ya.”

    Momen itu seperti evaluasi mini dari presentasi sebelumnya. Ia belajar bahwa keputusan tidak hanya berdasar review YouTube atau angka di marketplace... tapi juga pengalaman langsung.

    Refleksi Orang Tua

    Saya tidak akan selalu ada untuk memilihkan barang terbaik untuk mereka. Tapi jika saya bisa membekali mereka dengan kemampuan untuk berpikir sebelum membeli, menganalisis manfaat, dan mempertimbangkan harga... maka itu lebih berharga dari sepatu apapun.

    nantikan lanjutan nya :

    Haekal dan Hanan sudah buat presentasi lengkap. Tapi setelah mencoba langsung di toko, mereka sadar... keputusan bijak butuh direvisi. 

    .