Tiga Ilmu, Tiga Guru, dan Jejak Humanisme Unpar di Era 1980-an
Mengenang masa kuliah di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) pada era 1980-an selalu menghadirkan kehangatan tersendiri.
Saat itu, saya berkesempatan belajar dari tiga sosok guru besar yang bukan hanya cendekia, tetapi juga tokoh humanis sejati: Pater M.A.W. Brouwer, Mgr. Paternus N.J.C. Geise, dan Pastor Frans H.C.M. Vermeulen.
Ketiganya mengajarkan mata kuliah yang sangat berpengaruh dalam membentuk cara berpikir, kepekaan, dan spiritualitas saya hingga kini: Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Alamiah Dasar, dan Fenomenologi Agama.
Menariknya, meskipun saya seorang Muslim, pengalaman belajar dari para pastor dan imam Katolik asal Eropa ini justru memperkuat iman Islam dan memperdalam spiritualitas kehidupan saya.
Ilmu Budaya Dasar dan Psikologi - Bersama Pater M.A.W. Brouwer
Mata kuliah pertama yang saya tempuh di tahun pertama kuliah adalah Ilmu Budaya Dasar (IBD), dibimbing oleh Pater M.A.W. Brouwer, seorang rohaniwan, humanis, dan pakar psikologi yang sangat disegani.
Selain mengajar IBD, beliau juga menjadi dosen Psikologi, bidang kepakarannya yang membuatnya dikenal luas sebagai kolumnis di harian Kompas dan berbagai media lainnya, menulis dengan kedalaman batin dan sentuhan kemanusiaan yang khas.
Sebagai pengajar, Pater Brouwer memiliki gaya yang lembut namun menggugah. Ia tidak sekadar mengajarkan teori, tetapi mengajak mahasiswa merenungi makna di balik perilaku, budaya, dan spiritualitas manusia.
Melalui kuliahnya, saya belajar bahwa manusia bukan hanya makhluk rasional, melainkan juga makhluk berperasaan dan berjiwa. Seni, sastra, dan agama baginya adalah jendela menuju kedalaman makna hidup.
Pelajaran dari beliau memperkuat kesadaran saya bahwa iman tidak meniadakan budaya atau psikologi, tetapi justru memperkaya keduanya.
Sebagai seorang Muslim, saya menemukan harmoni antara pandangan Pater Brouwer dan ajaran Islam tentang akal, hati, dan adab sebagai pilar kehidupan.

Konsep iqra' (membaca), tafakkur (merenung), dan tasyakkur (bersyukur) menemukan bentuk nyatanya di ruang kuliah yang dipenuhi dialog dan refleksi.
Kini, IBD telah berkembang menjadi Cultural Studies, dan psikologi modern semakin mengaitkan diri dengan spiritualitas serta well-being, arah yang sebenarnya telah disemai sejak masa kuliah bersama Pater Brouwer di Unpar.
Ilmu Alamiah Dasar - Bersama Mgr. Paternus N.J.C. Geise
Semester berikutnya, saya menempuh Ilmu Alamiah Dasar (IAD) bersama Mgr. Paternus N.J.C. Geise, O.F.M., seorang ilmuwan sekaligus rohaniwan yang memiliki kemampuan luar biasa menjembatani iman dan ilmu.
Beliau mengajarkan sains bukan sekadar kumpulan fakta, tetapi sebagai cara manusia membaca tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Mgr. Geise kerap menekankan bahwa alam adalah kitab kedua Tuhan, tempat manusia mengenali kebijaksanaan Sang Pencipta.
Sebagai seorang Muslim, pandangan itu selaras dengan firman Allah:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (QS Ali Imran [3]:190)
Melalui IAD, saya belajar bahwa iman dan sains tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi.
Ilmu tanpa iman bisa kehilangan arah, sementara iman tanpa ilmu dapat kehilangan daya jelajahnya.
Kini, IAD telah berkembang menjadi Ilmu Alamiah dan Lingkungan (IAL), yang menekankan keberlanjutan dan tanggung jawab ekologis, nilai yang dulu sudah tertanam dalam pengajaran Mgr. Geise.
Fenomenologi Agama - Bersama Pastor Frans H.C.M. Vermeulen
Saya pertama kali berjumpa dengan Pastor Frans Vermeulen, O.S.C. bukan di kelas, melainkan saat kegiatan penerimaan mahasiswa baru.
Setelah pembukaan, kami mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) selama 100 jam. Para pastor turut menjadi pemateri di sela-sela para pengajar lain.

Kesan pertama saya: sosok yang tenang, terbuka, dan mampu menyampaikan nilai-nilai moral universal dengan bahasa yang sederhana namun menyentuh.
Beberapa semester kemudian, saya mengikuti kuliah Fenomenologi Agama selama dua semester di bawah bimbingan beliau.
Mata kuliah ini mengajak kami memahami agama bukan dari sisi doktrin, tetapi dari pengalaman religius manusia, bagaimana seseorang mengalami kehadiran Ilahi, menemukan makna hidup, dan mengekspresikan kesakralan melalui simbol serta tindakan etis.
Fenomenologi Agama menumbuhkan empati lintas iman dan mengajarkan bahwa menghormati keyakinan orang lain bukan berarti melemahkan iman sendiri.
Sebaliknya, pengalaman ini justru memperteguh tauhid dan memperdalam keislaman saya, karena saya belajar bahwa setiap agama mengandung pencarian yang sama terhadap kebenaran dan kasih Tuhan.
Kini, fenomenologi agama terus berkembang, merambah ranah dialog antariman, psikologi spiritual, hingga fenomenologi digital. Namun nilai dasarnya tetap sama: menghayati kehadiran Ilahi dalam pengalaman manusia yang beragam.
Dari Bangku Kuliah ke Dunia Ekonomi Syariah
Lima belas tahun setelah masa kuliah itu, saya pun terjun dalam pengembangan perbankan syariah di tanah air tercinta.
Saya dipercaya untuk menjadi supervisi pengembangan jaringan bank syariah di berbagai pelosok negeri, mengunjungi banyak daerah, dan melihat langsung bagaimana prinsip-prinsip ekonomi berbasis keadilan dan etika dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.

Dalam perjalanan panjang itu, saya kemudian dikenal sebagai salah satu Ahli Ekonomi Islam.
Dan ketika saya menoleh ke belakang, saya sadar pelajaran dari bangku kuliah di Unpar bersama para frater dan pastor itu menjadi modal spiritual dan intelektual yang sangat berharga.
Mereka menanamkan nilai-nilai universal: berpikir kritis, beretika, dan berjiwa spiritual.
Nilai-nilai itulah yang kemudian menjadi fondasi saya dalam membangun pandangan ekonomi Islam, ekonomi yang berlandaskan akhlak, keadilan, dan keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Refleksi Akhir: Iman, Ilmu, dan Kemanusiaan
Ketiga mata kuliah itu, IBD dan Psikologi, IAD, serta Fenomenologi Agama, membentuk trilogi pendidikan humanistik Unpar yang mengasah akal, hati, dan iman.
Dan dalam perjalanan hidup saya, trilogi itu berubah menjadi landasan moral dan spiritual dalam membangun ekonomi yang berkeadilan.

Saya belajar bahwa ilmu sejati tidak hanya untuk kecerdasan, tetapi juga untuk kemaslahatan.
Bahwa iman sejati tidak hanya diucapkan, tetapi dihidupi dalam etika dan tindakan.
Dan bahwa pertemuan lintas iman di masa muda justru dapat menjadi jembatan menuju kedewasaan spiritual dan kebijaksanaan universal.
Kini saya percaya, ilmu apa pun yang berakar pada nilai dan iman akan selalu melahirkan kebaikan.
Dari ruang kuliah Unpar di tahun 1980-an hingga ruang rapat bank syariah di berbagai pelosok negeri, benih humanisme dan spiritualitas itu tetap hidup, terus menuntun langkah, dan memperkaya makna hidup saya hingga hari ini.
Penulis: Merza Gamal
Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah & Konsultan Transformasi Corporate Culture
.